DIARY ORANG MISKIN
iccank saja
Tragedi & Perlawanan Orang Miskin
Kuli yang mencari tambahan umur sampai besok atau lusa!
Dan mereka bekerja berat-bukan untuknya, bukan khusus untuknya sendiri dan bukan untuk keluarganya-
Untuk mereka yang berkuasa atas hidup dan mati kami sekarang
(Pramoedya Ananta Toer: Mereka yang Dilumpuhkan)
04.00 dini hari
Pagi ini suara jerit ayam berkokok sama lantangnya dengan suara truk pengangkut sampah. Deritnya membangunkan kita yang rasanya baru tidur beberapa menit yang lalu. Ya aku yakin kita baru saja melepaskan kepenatan. Kaki yang tadi barusan menginjak-injak pecahan kaca dan tangan yang mengais-ngais sampah rasanya masih kaku dan keras. Engkau masih enak saja memejamkan mata dan mungkin memimpikan tinggal di rumah yang kemaren kita lewati. Waktu itu engkau bertanya padaku: ‘pak kapan ya kita punya rumah seperti itu? Saat itu kita melewati rumah yang mewah sekali. Engkau sama dengan anak-anak lain: heran dan kagum akan sesuatu yang pertama kali dilihat. Rumah itu mirip dengan istana kristal yang gambarnya kita peroleh di buku ceritamu. Buku yang tiap kali kau bawa dan perlihatkan ke bapak berulang-ulang.
Kukatakan padamu dengan penuh imagi: ‘itu bukan rumah tapi surga nak, besok kalau di akherat kita pasti akan tinggal di tempat seperti itu! Jawaban sambil lalu dan mungkin sekenanya. Karena aku juga tak percaya tempat yang indah itu dijadikan rumah kediaman. Bangunanya tinggi dengan tembok yang rapat mengelilinginya. Pintunya kokoh seakan-akan tidak akan pernah bisa diruntuhkan begitu saja. Yang tampak dari luar hanya genting dan bangunan lantai duanya. Mungkin karena begitu bagusnya sehingga pemiliknya lebih memilih untuk menyembunyikan diri di dalam. Di pagar termuat tulisan yang kerapkali kita baca: Dilarang pemulung, pengamen, pengemis dan salesman masuk! Tiga profesi yang selalu dijadikan satu dan semuanya diperintahkan untuk tidak berada di hampir semua tempat. Karena larangan serupa kusaksikan di pintu perumahan, kampus, kantor-kantor, pertokoan bahkan ada yang memasangnya di pinggir pantai. Mereka mungkin seperti monster yang kehadiranya dianggap bisa membawa gangguan.
Kebetulan waktu itu kita melewatinya dan saat itu pintu gerbang rumah sedang dibuka. Sebuah mobil yang mengkilap keluar dengan laju gas yang kencang. Hampir saja engkau tertabrak jika tidak segera melompat ke pinggir trotoar. Perasaanku kita tidak keliru. Engkau hanya ingin melihat rumah itu.Tapi suara penjaga rumah yang membuka pintu itu terasa seperti gumpalan kemarahan sekaligus kekesalan yang meledak-ledak: ‘ekh kalau jalan jangan sembarangan ya…untung tadi kalian ndak mampus dilindas!’ hujatan yang sering kita semua dengar. Cacian yang hampir tiap hari biasa kita dapatkan. Hampir saban hari kita mendapat cercaan seperti itu. Semula kamu terkejut, takut dan cemas. Lalu kutentramkan perasaanmu dengan kata-kata yang sudah biasa kuhapal “ sudahlah jangan difikir mereka itu memang punya mulut, mata dan telinga yang berbeda. Mulutnya memang selalu akan berteriak kalau tuanya terganggu dan matanya selalu jalang mengawasi setiap gangguan dan itu sebabnya telinganya sulit untuk mendengar hal-hal yang baik’ Biasanya kamu akan tersenyum mendengar jawaban itu. Bukan jawaban yang memuaskan tapi meyakinkan kita bahwa mereka memang tidak sama dengan kita. Tempat tinggal dan kendaraanya membuat mereka punya kebiasaan yang berbeda. Mereka punya rumah yang besar sedang kita tak memiliki; mereka punya kendaraan yang bagus sedangkan kita kakinya saja sudah tak karu-karuan warnanya. Mereka punya badan yang terawat sedangkan kita sudah memiliki luka disana-sini. Kita tidak sama dengan mereka!
Makanya aku tak percaya jika seorang berkata kita semua sebenarnya sama. Pendapat yang hanya bisa menentramkan bukan mengatakan yang sebenarnya. Dalih mereka sepele dan dangkal: kita semua punya mulut, telinga dan jumlah kaki yang sama. Bukankah itu petunjuk kalau kita mendapat bekal fisik yang sama? Pernyataan yang sewenang-wenang. Kalimat yang hanya menggampangkan saja. Mereka lupa kalau tak semuanya kita mempunyai organ yang sempurna. Bahkan sejak lahir. Banyak teman-teman kita yang kakinya sudah tidak genap. Si Badrun kemaren kakinya digilas oleh mobil. Tangan Narso sudah lama buntung sejak lahir. Sadrun sudah lama tuli pendengaranya. Malah Tomo kepalanya membesar sampai sekarang. Mereka bukan hanya tubuhnya tidak lengkap melainkan badanya tampil secara menjijikkan. Koreng, kurap, luka menempel di tubuh yang tak lengkap itu. Cacat tubuh yang dapat digunakan untuk mendapat belas kasihan. Beberapa memutuskan menjadi pengemis. Andaikata genap semua organ tubuhnya seperti aku dan kamu itupun masih juga ada yang berbeda. Mereka makan pakai nasi, lauk dan piring. Kita makan hanya seadanya. Sisa-sisa sampah itu kita pungut dan yang agak bagus kita telan dengan tangan. Mungkin itu yang membuat kita mirip dengan kucing. Makan-makanan sisa. Aku lebih merasa kita cocok dengan seekor tikus. Hitam, bau dan segera berlari jika dikejar oleh petugas. Apalagi jika itu adalah orang berseragam.
Tapi itu tak berlaku untuk abangmu Gonjez. Ia selalu mengajak ayahmu untuk tidak takut pada orang-orang berseragam. Pendapatnya aneh, yang berseragam itu hanya pelayan rakyat. Mereka mustinya melayani rakyat bukan menakut-nakuti. Dan rakyat itu termasuk kita. Aku selalu geli dengan ibumu jika Gonzes berpendapat begitu. Ia pemberani dan karena itu disegani oleh banyak tetangga kita. Itu mungkin yang menyebabkan kakakmu orang yang selalu dimintai tolong pertama jika warga berurusan dengan aparat. Kakakmu dengan percaya diri mengutip ketentuan hukum yang banyak mencantumkan kata-kata ‘hak’ di dalamnya. Ia selalu mengatakan ‘kita harus punya kesadaran atas hak! Hak sebagai manusia dan hak sebagai rakyat’ Ia dengan teman-temanya yang bergabung dalam organisasi Perserikatan Rakyat Miskin Kota seringkali menggelar acara demonstrasi. Kita sesekali ikut di dalamnya. Ada-ada saja tuntutan mereka. Suatu hari mereka menuntut: Pemerintahan Kaum Miskin. Lain hari mereka memperingati hari buruh sedunia. Bahkan beberapa hari yang lalu mereka proklamirkan diri sebagai kekuatan alternatif. Tuntutan yang ayah tahu tidak bakal terwujud tapi mereka nyatakan juga. Abangmu Gonjez punya pendapat yang menarik tentang itu: ‘ini cita-cita pak, harus dikatakan dan diyakinkan. Bukan karena itu akan terwujud atau tak mungkin diwujudkan tetapi itu adalah masa depan kehidupan politik yang patut diraih. Kita harus mengatakanya dan ini memacu kita untuk mewujudkanya’
Itulah keyakinan Gonjez yang berimbas pada keteguhanya untuk tidak mudah menyerah. Suatu kali ia dengan teman-temanya menjadi korban penganiayaan aparat trantib. Entah apa salahnya tiba-tiba ia dipukuli. Gonjes saat itu tidak membalas tapi malah melaporkanya ke LBH. Mereka menuntut pertanggung-jawaban petugas yang melakukan kekerasan. Dilaporkan tidak hanya ke LBH tapi juga media massa. Ditulisnya kronologi dan apa yang dialami olehnya. Ia menyebutnya dengan dokumen pembelaan. Ayahmu diberikanya satu copy tulisan yang sangat berani. Kubacakan tulisan ini untukmu sebagai pengingat atas keberanian kakakmu yang begitu kami cintai dan sayangi.
‘Kami ini tidak sekedar kumpulan daging dan tulang. Kami adalah manusia yang punya martabat dan harga diri. Benar kami hanya seorang pengamen jalanan yang berbaju lusuh dan berbau apa adanya. Tapi kami adalah rakyat sama seperti kalian. Kami mengamen karena itulah cara kami mencari makan. Kami memilih untuk tidak mencuri, merampok apalagi membunuh. Kami adalah rakyat yang punya hak untuk diberi perlindungan. Dari kesewenang-wenangan apalagi dari tindakan penganiayaan. Kini hak itu diambil dengan semena-mena. Oleh petugas yang harusnya melindungi kami. Oleh aparat yang mustinya memberikan jaminan keamanan. Kisahnya sangat sederhana. Kami duduk di atas pinggiran jembatan. Ngobrol, minum dan bercanda. Entah setan apa yang masuk di tempurung petugas trantib pagi itu. Mereka datang berkelompok dan hanya menyapa pendek: ‘jangan minum di bulan puasa’. Lalu seseorang tiba-tiba memukul, yang lain menendang dan berikutnya kami dihujani tamparan. Kami lari berhamburan. Mereka mengejar. Aku jatuh oleh lemparan pentungan.Segera semua pukulan didaratkan ke mukaku. Aku mungkin dianggap binatang buruan. Mereka tendang, caci maki dan sumpah serapah. Hingga aku tak sadarkan diri. Guyuran air dari teman-teman yang membuatku terbangun. Tanpa mau diobati kuajak kawan-kawan melaporkan tindakan keji aparat itu ke LBH. Aparat itu tidak hanya melanggar hukum tapi hak sebagai manusia yang bermartabat. Mereka makan gaji rakyat tapi tindakanya itu memakan korban rakyatnya sendiri.Sekali lagi aku menolak untuk tunduk! Aku memilih untuk melawan!
Abangmu entah sekarang ada dimana. Sejak beritanya dimuat di media beberapa kali abangmu dicari oleh aparat Trantib. Bapak berulang-ulang ditanya KTP. Katanya kita ini penduduk illegal yang harus dipulangkan. Mereka mengancam kalau tidak menemukan abangmu kita semua akan dimasukkan dalam penjara. Berurusan dengan polisi dan aparat keamanan lainnya. Tapi bapak, kamu dan ibumu sudah kebal dengan ancaman. Kalau dengan rasa lapar saja kita kebal maka ancaman apapun hanya seperti sesuatu yang menggelitik badan kita. Mereka tak bisa menggetarkan apa yang bapak dan ibumu tanam. Abangmu Gonjez pernah memberikan sesobek puisi yang katanya dapat menjadi pegangan kita semua. Lembar puisi yang masih bapak simpan dan kelak engkau harus menyimpanya. Tutur puisi di dalamnya adalah ikatan menghujam yang membuat kita tak mudah roboh oleh ancaman. Kubacakan untukmu nak dan semoga kamu juga akan membacanya untuk anakmu kelak:
Derita Sudah Naik Seleher
(Wiji Thukul)
Kaulempar aku dalam gelap
Hingga hidupku menjadi gelap
Kausiksa aku sangat keras
Hingga aku makin mengeras
Kaupaksa aku terus menunduk
Tapi keputusan tambah tegak
Darah sudah kauteteskan
Dari bibirku
Luka sudah kaubilurkan
Ke sekujur tubuhku
Cahaya sudah kaurampas
Dari biji mataku
Derita sudah naik seleher
Kau
Menindas
Sampai
Di luar batas
03.00 dini hari
Betapapun biadab dan kalapnya musuh
Menghadapi kebenaran senjata tak berarti
(M.A Arsjad)
‘Pokoknya kita harus bertahan dan jangan menyerah’ itulah kalimat yang menyembur dari mulut bang Sony kemaren malam. Ia dengan memakai kaos berwarna hitam dan bertuliskan kata-kata “tidak akan menyerah!” mulai memberi kuliah pada kami. Dalilnya begitu kuat dan meyakinkan: bahwa kita semua tinggal diatas tanah yang legal. Karena legal itu berarti kita benar jika tetap tinggal disini. Legal adalah kata yang membingungkan buatku. Dulu aku menempati tempat ini setelah diajak oleh kawan sekampung. Sairan namanya. Ia sama sepertiku hanya tukang sampah yang mengumpul-ngumpulkan barang. Nanti disetor ke tuan besar untuk dihargai sekedarnya. Cukup untuk makan nasi sama ikan teri. Sairan sudah lama tinggal di tempat ini. Kalau kubilang tempat itu hanya sebuah kardus yang disangga dengan kayu seadanya. Beberapa bahkan ada yang atapnya dari triplek. Tapi tak semua rumah seperti milik Sairan. Ada yang memakai batu bata, genting dan memiliki halaman. Bahkan yang seperti itu makin banyak. Listrik mengalir dengan terang lalu aliran air lancar dan beberapa orang kemudian menarik iuran.
Aku merasa betah tinggal disini. Banyak kawan-kawan sekampung kemudian ikut menempati tanah ini. Dekat dengan kota dan berada di perlintasan jalan raya. Ramai, bising dan padat.Malah ketua RT adalah kawan tetangga kampung. Ia yang mengurus kartu tanda penduduk aku dan kawan-kawan. Tanda pengenal yang tak membuat kami gampang untuk ditangkap lalu diusir. Tanda pengenal yang memungkinkan aku dapat beras gratis dan bantuan bermacam-macam. Soalnya aku dikategorikan sebagai warga miskin. Definisi orang miskinya memang cocok dengan apa yang kualami selama ini: rumah berlantai tanah, tidak mampu membeli baju baru selama setahun, tak bisa meng-akses layanan kesehatan dan pendidikan. Bahkan menurutku itu kurang lengkap, aku juga tak mampu untuk memperoleh uang yang cukup untuk makan tiga kali sehari, tak mendapat pekerjaan yang layak untuk ukuran manusia dan selalu harus membayar iuran yang tak masuk akal. Iuran keamanan, iuran tempat tinggal, iuran keselamatan dan banyak lagi yang lain. Sesaat ketika kukatakan itu kawanku hanya berkomentar singkat: ‘sudahlah jadi orang miskin tak usah banyak protes, terima saja apa yang kita dapatkan’
Protes mungkin asing bagiku dan tentunya untuk teman-teman yang lain. Tapi untuk soal satu ini sepertinya kami kompak untuk protes. Soalnya menyangkut bukan hanya makan tapi hari esok. Tidak saja pekerjaan tapi tempat tinggal yang kian menjadi masalah di kota ini. Mereka menamakan kami pendatang haram dan menempati tanah yang tidak legal. Ini katanya bukan tanah kami dan sebenarnya telah terjadi jual beli antara pemerintah dengan sebuah pusat perbelanjaan. Jual beli yang kami tak tahu: kapan, dimana dan berapa harganya. Hasil dari kesepakatan jual beli yang sampai ke tangan kami adalah: pengusiran! Sebuah surat melayang ke rumah ketua RT setempat dengan peringatan yang tak masuk akal: dalam waktu kurang 1x 24 jam harus mengosongkan rumah. Mereka mungkin berfikir kami buat mainan rumah-rumahan. Karena waktunya habis maka mainan itu harus dibongkar. Mereka lupa kalau ini rumah yang berisi bukan hanya perabot tapi bayi, anak kecil, orang tua dan kami semua. Kami manusia yang masih bernyawa.
Karena itulah kami kemudian berkumpul. Di rumah bang Sony salah satu yang diproklamirkan sebagai pemimpin. Ia banyak bergaul dengan teman-teman mahasiswa. Maklum ia penjual bakso gerobak yang sering mangkal di depan kampus. Kios bakso yang katanya sering dipakai sebagai tempat ngobrol para mahasiswa. Ia pintar bicara dan pandai berargumentasi. Apalagi ia tergolong orang yang pertama-tama menempati tanah ini. Malahan pak RT yang masih tergolong pamanya segan dengan bang Sony. Dan malam itu semua orang mendengar gagasanya. Malam itu ia berpidato dengan kobaran semangat agar semua warga menolak semua bentuk tawaran. Dikatakan olehnya dengan keyakinan yang sugestif apa yang menjadi mimpi warga selama ini:
‘kita bukan hanya menempati tanah legal melainkan tanah yang telah dijanjikan. Sudah puluhan tahun kita berada disini dan dengan gampangnya mereka mengatakan kita duduk di tanah illegal. Pernyataan yang benar-benar menyakitkan sekaligus menggelikan. Mereka harusnya berterimakasih pada kita yang telah membuat tanah yang semula hanya rawa menjadi tempat tinggal yang bersih, aman dan teratur. Tanah inilah yang sebenarnya memanggil kita semua untuk kesini. Tanah ini yang meminta pada kita untuk ditempati, dirawat dan dipelihara. Dan melalui selembar surat ngawur ini kita kemudian diminta untuk keluar dari tanah ini. Mereka meminta kita bersiap 1x 24 jam sejak tadi pagi. Tak ada perundingan, tak ada tawar menawar dan tak ada pilihan kecuali kita melawanya. Bukan karena kita akan memenangkan pertarungan tapi kita ingin menegakkan harga diri kalau yang miskin tak bisa diinjak-injak seenaknya. Kita mau menyatakan bahwa martabat tak boleh dikalahkan dan harus ditegakkan. Berapapun harga yang musti dibayar untuk menegakkan itu semua. Maka kumohon pada yang muda untuk bersatu esok pagi dan melawan dengan segala daya tiap upaya merobohkan rumah ini. Apapun senjata yang ada mari kita kumpulkan dan biarkan anak-anak kita kelak menilai siapa diri kita sebenarnya. Kukutip ucapan Lenin yang kudapat dari teman-teman mahasiswa: lebih baik mati bersama massa ketimbang hidup dengan bersikap netral. Sedang untuk anak-anak kecil dan ibu-ibu biarkan mereka menyingkir di pinggir bahu jalan. Kita siapkan tenda untuk mereka sekaligus untuk menyimpan barang-barang yang berharga. Ayo kita siapkan semua malam ini’
Malam itu semua warga bergegas. Kami seperti pasukan yang menyiapkan barisan. Ibu-ibu dengan dibantu oleh beberapa mahasiswa menyiapkan makanan. Kami merombak jalan masuk menjadi portal besar yang dipenuhi oleh ban-ban yang dibakar. Sejumlah bambu yang tebal dan besar dibaringkan di muka jalan. Kami semua merobohkan papan-papan untuk menutup pintu masuk. Malam itu kami seakan menyiapkan diri untuk melakukan peperangan agung. Perang yang mungkin tidak kami menangkan tapi kami tegakkan melalui harga diri dan pengorbanan. Keputusan yang tidak mungkin ditunda karena itulah hakekat perjuangan kami. Menolak untuk menyerah dan itu menjadi pelajaran masa depan untuk generasi miskin berikutnya: bahwa kehidupan tak selalu harus dijalani dengan sikap pasrah. Kehidupan yang layak patut diperjuangkan dan sekaligus dipertaruhkan. Itulah jalan hidup kami! Itulah ikrar kami malam ini! Yang kuingat malam itu seorang mahasiswa berdiri diatas ban dan membacakan sebuah puisi yang akan selalu kami ingat-ingat:
Bunga & Tembok
(Wiji Thukul)
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kaukehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kaukehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan dibumi kita sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: Engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di mana pun –tirani harus tumbang!
12.oo malam
Kabar apa yang kau sandang, gelombang-gelombang laut
Di belakang barisan ploretariat kian memanjang
Yang tak pernah memimpikan kekalahan
Dan itulah kehidupan
(Lelonokaryani)
Malam ini masih kupegang lembaran kertas lusuh. Lembar kertas yang kutemukan dalam amplop yang berwarna putih kusam. Diatasnya tertulis namaku dalam goresan tangan yang agak semrawut. Lembar yang kudapatkan dari salah satu kamar seorang mahasiswa. Zaki namanya. Biasa dipanggil dengan Jack. Ia mahasiswa yang berasal dari Sidoardjo. Kota yang kini ditelan oleh lumpur. Lumpur yang namanya Lapindo. Nama perusahaan yang telah berhasil mengedarkan lumpur hingga memenuhi hampir sebagian kota dan menutup ruas jalan tol. Sedang pemerintah yang memang tak berkutik menyatakan untuk menyerah menangani itu semua. Bahkan melalui keputusan Presiden pemerintah ikut menanggung dana akibat dari luapan lumpur ini. Sekarang pemerintah memutuskan tak bisa mengatasi luberan lumpur ini. Pemerintah tak hanya kehabisan akal juga kehilangan martabat dihadapan perusahaan yang dipunyai oleh salah satu menterinya.
Jack yang lahir dan tumbuh di kota itu merasa marah melihat keadaan tersebut. Ia sejak awal memutuskan untuk mengambil tindakan. Tindakan bukan untuk menghentikan tapi memastikan siapa yang layak bertanggung jawab atas situasi buruk ini. Ia ajak kawan-kawanya untuk membahas keadaan ini. Diamatinya peran perusahaan yang jadi pencetus awal ledakan lumpur. Ia menginginkan agar aparat penegak hukum segera menyeret para pemimpin perusahaan yang bertindah pongah dan ngawur ini. Baginya Perusahaan itu bukan hanya melakukan kesalahan melainkan penganiayaan yang serius dan mendalam. Ia cetuskan komitmen untuk tidak akan melanjutkan kuliah selama tanah tempat tinggalnya belum bebas dari tindakan pelanggaran ini.Tidak oleh lumpur tapi perusahaan yang menciptakanya. Tidak saja perusahaan tapi pemerintah yang tidak memihak kepada rakyatnya. Ia bersama dengan warga lain berangkat ke ibu kota. Berombongan mereka datang untuk menuntut hak. Protes di depan istana. Bertemu dengan kepala negara. Diajak berdikusi dengan para menterinya. Tapi perjalanan itu semua berujung pada kegagalan. Pertemuan itu seperti sebuah bualan dan upacara katanya. Ia katakan situasi yang dialaminya ketika berada di Jakarta kepadaku:
‘kau tahu kami kesana-kemari berjabat tangan dengan banyak pejabat. Wartawan terus mengikuti tiap perjalanan kami. Kilatan lampu foto disemprotkan ke tubuh dan muka kami. Kurasa waktu itu ada jalan keluar. Ternyata semuanya hanya berlagak saja. Semuanya hanya panggung. Kami hanya dijadikan altar untuk meraih simpati. Seakan-akan mereka ingin mengatakan kalau kami mendapat perhatian. Mereka seakan ingin bilang bahwa kami memperoleh kepedulian. Padahal itu semua hanya kebohongan. Ini semua untuk sebuah tontonan. Akhir dari pertunjukan itu kepala negara meneteskan air mata di bawah sorotan kamera. Dan kami seakan-akan kena sihir pidato budayawan yang mengharukan. Kalau kami akan dibela. Kalau kami berhak mendapat perlakuan istimewa. Padahal semua itu hanya pentas raksasa. Judul sandiwaranya adalah kemanusiaan. Kami cocok sebagai korban dan mereka patut disebut sebagai dewa. Akhir kisahnya gampang diduga: mereka mendapat popularitas dan kami masih terbenam dalam derita’
Kusaksikan malam itu ia tampak gusar. Marah yang begitu hebat. Ingatanya bukan lagi pada kampungnya yang terbenam oleh lumpur melainkan orang tuanya yang tinggal di pengungsian. Melayang ingatanya pada nyali protes masyarakat yang makin luntur dan padam. Mereka telah melakukan perlawanan apapun dan harus kalah oleh keputusan pemerintah dan kemauan perusahaan. Kompak keduanya. Pemerintah dan perusahaan mengatakan musibah ini sebagai gejala alam. Tuhan yang keliru bukan alat perusahaan. Temuan atas kesimpulan ini bukan rekaan. Serombongan ilmuwan dari perguruan tinggi ternama yang mengatakanya. Ampuh sekali pendapat mereka mengenai salahnya alam. Dan Jack makin maradang saat menyaksikan iklan perusahaan yang termuat di media dan saluran televisi. Iklan yang mengutip bagaimana bajiknya perusahaan telah memberi penduduk pesangon. Upah ala kadarnya untuk pindah dan membangun rumah baru. Seakan-akan itu semua bukan musibah tapi perubahan nasib spontan yang lebih baik. Seolah mereka berkata: lumpur pembawa berkah. Maknanya bukan lagi bergeser tapi diganti. Diubah menurut kemauan perusahaan. Dan Jack benar-benar merasa marah atas situasi ini. Ia memutuskan untuk pergi dan surat yang kupegang ini seperti sebuah perpisahan yang panjang.
Kepada Wid,
Aku minta maaf telah pergi tanpa pamit kepadamu terlebih dulu. Begitu aku mendengar berita ibu meninggal segera aku memutuskan untuk pulang kampung. Kepulangan yang akan lama dan mungkin panjang. Jangan engkau tanya bagaimana nasib kuliahku. Buku dan bangku kuliah lama kelamaan sudah tidak lagi kupercayai. Buktinya kampusku yang menyokong dalil kalau lumpur itu hanya gejala alam. Kampus yang katanya memegang prinsip keadilan, kemanusiaan dan kebenaran. Ternyata itu semua hanya omong kosong. Padahal mereka adalah guru besar yang titelnya berderet dan karya intelektualnya banyak sekali. Mengapa mereka mau melakukan kebohongan itu? Pengetahuan yang bisa dibeli bagiku sudah tidak ada lagi gunanya untuk dipelajari. Maka kuputuskan dengan penuh kegembiraan kalau aku menanggalkan kuliah. Aku memutuskan untuk memperdalam pengetahuan tentang keberanian dan kebenaran. Dan itu tak harus tinggal di kampus. Sumber pengetahuan itu ada di kampungku sendiri. Kampung yang kini perlahan-lahan tenggelam oleh luberan lumpur.
Kau bisa saksikan Wid, itulah tanah dimana aku habiskan waktu untuk bermain, belajar dan tumbuh. Tempat itu kini porak poranda dan tenggelam. Aku bukan hanya kehilangan rumah tapi kehilangan masa lalu.
Dan aku serta banyak penduduk tahu kalau itu adalah kesalahan perusahaan. Mereka melakukan operasi yang gila dan tak masuk akal. Mereka lobangi tanah di sekitar kami dengan alat seadanya. Katanya di tanah kami terkandung kekayaan alam besar. Entah minyak, entah tambang atau mungkin emas. Ternyata bukan emas yang ditemukan melainkan lumpur. Muncrat lumpur dengan ketinggian beberapa meter. Mungkin buat pemilik perusahaan itu pemandangan yang mengaggumkan. Lumpur itu muncrat dan meluberi tanah sekitarnya. Mula-mula hanya beberapa meter tapi volume kecepatanya yang deras membuat ratusan rumah ikut tersapu lumpur. Kami semua berlarian dan membawa semua barang yang ada. Kami tidak diburu oleh aparat tapi kecepatan lumpur panas yang begitu kencang. Kecepatanya mampu membuat kami semua menyingkir ke tempat pengungsian.
Disanalah seluruh keluargaku berkumpul. Mereka makan, mandi dan tidur seadanya. Saat aku bisa duduk tenang membaca mereka harus menelan hari-hari yang sunyi. Sewaktu aku enak mengunyah makan mereka harus antri menunggu bantuan. Sebungkus nasi dengan lauk seadanya. Disini aku bisa berdiskusi panjang lebar sedangkan mereka harus menelan banyak janji para pejabat. Kaum yang bukan mewakili kami melainkan perusahaan. Maka aku memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Kami memutuskan untuk tidak berdiam diri saja. Kaulihat kami di televisi melontarkan berbagai aksi. Menduduki rel kereta api, mendatangi semua kantor penguasa, memblokir jalanan hingga melakukan mogok makan. Semua kami lakukan untuk tujuan utama: beri kami ganti rugi yang layak atas kehilangan terbesar dari hidup kami dan hukum mereka yang telah membuat kami jadi begini. Kami menuntut keadilan yang katanya menjadi bunyi utama konstitusi kita. Keadilan yang jadi kalimat agung dimana-mana. Menjadi kata-kata yang disemprotkan oleh politisi hingga ilmuwan.
Tapi yang kuperoleh bukan keadilan. Juga bukan ketidakdilan. Melainkan yang lebih mengerikan dari keduanya. Yaitu ketidak-acuhan para penguasa dan orang-orang seputarnya. Kami hanya patut dipajang untuk dipamerkan, dinilai dan diperjual-belikan. Mereka memotret kami dalam berbagai pose. Ketika putus asa, bergembira, memprotes. Seakan-akan semua gerak tubuh kami mempunyai harga. Harga itulah yang kemudian diedarkan dan dijual kepada siapa saja yang menginginkanya. Wartawan bertanya bagaimana perasaan kami. Aktivis bertanya apa sikap kami. Penguasa bertanya bagaimana keadaan kami. Dan perusahaan juga bertanya bagaimana pilihan kami di masa depan. Semuanya hanya berakhir pada kesia-siaan dan sebagian dari kami memilih untuk mengalah. Menerima apa yang ditawarkan. Mengakhiri segala bentuk perlawanan. Karena mereka merasa sia-sia, sendiri dan tak ada lagi gunanya semua itu. Aku memahami pilihan mereka dan itu sebabnya aku memutuskan sikap ini Wid.
Kuingin kamu tahu bahwa apa yang kulakukan ini bukan keinginan untuk meraih ganti rugi, keadilan apalagi ketenaran. Tindakanku ini dimotivasi sepenuhnya oleh keinginan untuk mendapat apa yang telah mereka rebut. Keberanian, harga diri, nyali dan martabat. Aku adalah anak yang tumbuh di lingkungan yang kini digenangi lumpur. Mereka bukan sekedar menghancurkan apa yang kumiliki tapi merobohkan sejarah yang ada di dalamnya. Sejarah yang mengajarkan aku tentang bagaimana harus bersikap. Sejarah yang mendidikku tentang kehormatan. Hormat pada diri sendiri dan menghormati pada masa lalu yang telah membesarkan diriku. Aku memutuskan untuk melawan melalui caraku. Inilah cara satu-satunya yang aku punyai dan akan menjadi lambang bagi masa-masa selanjutnya. Lambang yang menyatakan bahwa kita tak bisa seenaknya diinjak-injak. Kita bisa melawan dan mempertaruhkan apapun demi untuk nilai yang memang tak bisa dibeli dengan harga berapapun. Nilai itu seperti yang sering kukatakan padamu Wid, keadilan! Aku melihat keadilan telah diinjak-injak. Aku menyaksikan bagaimana keadilan sudah diacuhkan. Dan ketika pemilik perusahaan itu diproklamirkan sebagai orang terkaya di negeri ini maka aku ingin melakukan tindakan ini sesegara mungkin.
Maafkan aku jika selama kutinggal disini banyak membuat susah dirimu. Kuajak kawan-kawan berdebat hingga pagi hari. Kadangkala kami semua berhamburan tidur di rumah ini. Sesekali kami semua meneriakkan apa yang kami tuntut. Kamu benar kami selalu berbicara hal-hal idealis. Tidak nyata dan mungkin hanya mengawang-awang. Tapi itulah awan yang selama ini tumbuh melindungi diriku dan teman-teman. Di bawah awan cita-cita yang agung itulah ingin kubuktikan dan kurelakan diriku untuk nilai itu. Agak naif bagimu tapi tidak bagiku. Wid inilah prinsip dan kuharap kau mau memaafkan apa yang kulakukan.
Dan esok hari kusaksikan berita di televisi yang disiarkan oleh seorang pembawa berita dengan kalimat datar dan dingin: ‘pagi ini ditemukan mayat pria muda yang menjatuhkan diri dalam lumpur dengan diikat oleh spanduk bertuliskan: kami akan melawanmu Lapindo hingga di alam kubur. Perlawanan yang takkan bisa kautundukkan dengan uang berapapun juga’. Bunyi kalimat pembawa berita itu tawar, tenang dan bersahaja. Tapi memang begitulah media. Memberitakan sesuatu dengan seadanya, apa adanya dan memihak yang punya.
Membaca surat itu semalam aku jadi ingat kekaguman Jack pada Chun Tae il. Buruh Korea yang memutuskan untuk melakukan bunuh diri juga. Posternya dipasang di kamar dan kata-katanya selalu jadi pelecut semangat Jack. Kata-kata itu masih kausimpan di kamar yang kini kubersihkan. Kata-kata yang kautempel di tembok menghadap kasur. Dulu engkau bilang tiap bangun tidur akan kaubaca kalimat itu sebagai peneguh dan penguat dasar keyakinanmu. Kata yang melambangkan semangatmu kini:
‘Hidup adalah permainan. Maka, sejauh kita bisa memilih, jangan memainkan peran yang sedih, tapi pilih peran yang tidak bertentangan dengan hati nurani, berpihak pada rakyat’
Kau sudah memilih Jack dan pilihanmu benar. Akulah yang keliru selalu mengejek-ejek idealisme yang sering engkau katakan. Aku kini memahami siapa sesungguhnya dirimu.
05.00 dini hari (laporan seorang jurnalis ‘amatir’)
Bila bumi ini bisa berkata
Kepadamu tentu diceritakan
Senja berwarna merah
Karena darah petani yang tumpah
Dalam perlawanan
Untuk tanah, demokrasi
Dan keadilan
(Kusni Sulang)
Mayat itu ditemukan dalam sebuah rumah yang boleh dikata buruk dan apa adanya. Langit rumah itu hanya rangkaian atap yang kotor dan berlobang. Suara cicit tikus masih jelas terdengar. Cat pinggir yang ada di tembok seperti sebuah tempelan saja. Mengelupas disana-sini. Di dinding menempel kalender gambar bintang film. Di bawahnya terdapat kursi yang rusak disana-sini. Sandaranya sudah berlobang. Hanya ado foto yang dipasang dalam pigura kayu yang sudah aus. Daun pintu yang mungkin pernah terpasang di kamar sudah digantikan oleh kain korden yang kini terbuka. Kain yang lusuh dengan warna hitam seperti baru jatuh dalam comberan. Di kamar yang kecil itulah ketiga mayat itu ditemukan. Perempuan separuh baya yang mendekap kedua anaknya. Dekapan maut. Kematian yang tragis.Diatas dipan kayu dengan beralas tikar yang berlobang. Perempuan itu memeluk rapat kedua anaknya. Ketiga-tiganya menjemput maut. Surtinah nama perempuan itu. Menurut keterangan tetangganya, kedua anak yang didekap itu bernama Rokayah dan Agus. Keduanya kira-kira berusia empat dan enam tahun.
Menurut keterangan Kepolisian ketiga mayat itu meminum oplosan obat nyamuk. Cairan yang langsung mematikan dan membunuh siapapun yang mencoba menenggaknya. Motif yang mendorong mereka bunuh diri beragam. Sebagian bilang karena Surtinah sudah lama ditinggal suaminya dan otomatis tidak mendapatkan nafkah. Sebagian yang lain mengatakan kalau kematianya memang diduga karena keputus-asaan Surtinah yang telah lama dibelit oleh hutang. Beberapa yang lain dengan ngawur mengatakan kalau Surtinah sedang mempelajari ilmu hitam dan bunuh diri adalah syarat kelulusan. Yang belum memberi keterangan resmi adalah Kepolisian.Kata salah satu anggota yang di lapangan mereka masih mempelajari dan menelusuri motif bunuh diri ini. Yang jelas peristiwa bunuh diri ini telah menggemparkan kampung suka susah ini kemana-mana. Beberapa kamerawan televisi mulai menyorotkan kamera ke sekeliling rumah Surtinah. Yang hampir seragam, sama dan serupa. Miskin, kotor dan berdempetan.
Kami mencoba wawancara sejumlah orang yang tinggal di sekitar rumah serta beberapa pengamat sosial untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan fenomena bunuh diri sekeluarga ini. Agar lebih berimbang kami sertakan juga wawancara dengan pejabat setempat dan rohaniawan. Keduanya mewakili pihak-pihak yang selayaknya turut dimintai pertanggung jawaban atas keadaan ini. Berikut adalah hasil jawaban atas pertanyaan tunggal yang kami ajukan: mengapa Surtinah dan kedua anaknya memutuskan bunuh diri?
Tarjo (tukang becak yang bertetangga dengan Surtinah dan punya pengalaman pernah mencoba bunuh diri): Saya juga kalau jadi Surtinah udah bunuh diri sejak kemaren-kemaren?! Gimana ndak stress, laki ndak ada, anak dua dan kerja hanya nyuciin baju tetangga. Udah gitu apa sikh barang yang nggak naik. Gula, beras, minyak udah ganti harga semua. Pusing mas lihat keadaan kayak begini. Mau disabar-sabarin tetap ndak mampu. Apalagi anak-anak itu masih kecil. Minta susu, minta makan dan kadang main di tempat tetangga juga diejek-ejek. Ntar dikira cari utangan lagi. Kalau udah miskin mas saudara ngilang semua. Kalau didatangi ntar difikir mau dimintai bantuan. Jadi saya maklum mas kalau Tinah bunuh diri. Udah mampet. Ndak ada jalan keluar lagi!
Paijan (preman yang sering nongkrong di pojok jalan dan beberapa kali bantu ngasuh anak Surtinah): Udahk dekh mas ndak usah tanya lagi! Saya merasa kehilangan Rokayah dan Agus. Keduanya ini anak-anak lucu serta menyenangkan. Ndak saya bayangin mbak Tinah ngajak mati keduanya. Saya ingat kemaren mbak Tinah mau pinjem duit untuk beli beras. Tapi saya juga lagi ndak punya duit mas. Parkiran rame tapi sekarang udah dikuasai oleh aparat. Saya dah susah dapat objekan lagi. Mbak Tinah orangnya memang malu kalau harus ngutang terus. Yang bajingan itu suaminya. Ninggalin tanpa tanggung jawab! Saya sedih mas tapi kalau dah putus asa kemana lagi jawaban kecuali bunuh diri
Ijah (teman Surtinah yang selama ini sering dititipi anak-anaknya) Saya ndak tahu mas, tapi yang jelas mbak Tinah udah putus asa (hanya itu komentarnya dan ia ketika diwawancarai masih termangu sambil memandang halaman tempat dimana anak-anak Surtinah sering diasuhnya. Matanya berkaca-kaca dan menerawang jauh ke depan. Menurut tetangga sekitar Ijah adalah teman baik Surtinah yang selama ini banyak membantu dan sesekali menginap di rumah Surtinah)
Berikut ini adalah keterangan resmi seorang pejabat yang kebetulan menjadi wali kota. Seorang yang dikenal sebagai kepala daerah hasil pemilihan langsung tahun yang lalu. Kampanyenya waktu Pemilu: Kami Bisa Sejahterakan Rakyat. Namanya bapak Haji Thamrin Pasti Bisa. Gelarnya berderet panjang. Dari gelar bangsawan hingga akademik. Perutnya buncit dengan memakai stelan jas yang rapat mengurung tubuhnya dan ketika memberikan keterangan pers ditemani lurah dan camat tempat Surtinah tinggal. Bapak walikota kebetulan baru pulang dari kunjungan luar negeri. Keterangan pers diberikan di kafe bandara. Beberapa wartawan yang sudah menunggu mengelilinginya dengan kamera dan tape rekaman yang dipasang tepat diatas meja.Beginilah bunyi keterangan yang kami kutip selengkapnya:
Assalamu’alaikum wr.wb
Salam sejahtera bagi kita semua (sambil mengucapkan itu ia menyeka mulutnya dengan tisu dan minum segelas air putih)
Saya adalah walikota tempat dimana penduduk saya diberitakan mati bunuh diri karena kelaparan. Sungguh getir, mengenaskan dan memalukan saya selaku kepala daerah disitu. Sejak saya berada di Amerika berita itu membuat saya gundah dan membuat saya sulit untuk tidur. Tanyakan ke istri saya sudah lama saya tak mampu beristirahat dengan tenang jika mendengar berita saudari Surtinah. Beberapa kali dokter menganjurkan agar saya mengambil cuti dan beristirahat tapi saya menolak. Buat saya memimpin adalah bagian dari tanggung jawab. Jadi resiko ini biarkan saya tanggung sendiri.
Saudara camat dan lurah sejak kemaren saya telpon dan memberikan keterangan yang sangat menentramkan. Berlandaskan atas keterangan itulah saya ingin menyampaikan informasi yang sebenarnya. Informasi itu semoga bisa menjadi keterangan akurat dan dapat mengurangi kecurigaan yang selama ini timbul.
1. Saudara Surtinah tidak mati kelaparan melainkan kesalahan mengkonsumsi bahan. Akibat konsumsi yang salah itu maka ia meninggal dunia. Jadi tidak semata-mata bunuh diri karena putus asa apalagi rasa lapar. Itu analisa yang asal-asalan dan mengada-ada. Yang benar adalah saudara Surtinah mengalami keterlambatan gizi dengan kedua anaknya dan karena pengetahuan yang tak cukup maka memakan sesuatu yang mengandung bahan beracun. Sekali lagi kematianya bukan kelaparan tapi keterbatasan informasi
2. Saudara Surtinah selalu dikatakan sebagai penduduk kota kami. Padahal itu keliru. Informasi yang disampaikan oleh lurah serta camat menyatakan kalau saudara Surtinah bukan warga kami. Ia tak memiliki KTP. Jadi kami menyangkal kalau Surtinah adalah penduduk kami. Saya pribadi keberatan dengan berita yang menjelaskan Surtinah warga kami. Jadi kematianya juga akibat dari tindakanya yang illegal. Tidak memiliki kartu tanda penduduk. Ringkasnya pelanggaran hukum ini membawa akibat Surtinah terabaikan oleh pemerintah setempat. Padahal ada banyak program penanganan gizi buruk yang kami canangkan.
3. Beberapa pemberitaan juga mengkritik pemerintah yang dianggap mengabaikan fakta adanya gizi buruk. Ini jelas pemberitaan yang sangat menyudutkan! Saya tandaskan lagi, ini informasi yang menghakimi. Kami selaku pemerintah telah lama melakukan pemantauan intensif terhadap sejumlah warga yang diindikasikan terkena gizi buruk. Segala bentuk pemantauan dilakukan dan bahkan istri saya memegang komando penuh dalam penanganan busung lapar. Kemaren jika anda tahu kami mengadakan perlombaan untuk mencari siapa dari warga yang busung lapar. Laporkan dan kami segera akan menanganinya dengan cepat.
4. Tapi sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah kami akan menetapkan suami Surtinah sebagi PNS. Saya sedang minta staf saya untuk mencari kemana suami Surtinah berada.Jika sudah ketemu kami lantik menjadi pegawai dan dengan begitu tidak lagi terulang peristiwa yang menimpa istrinya. Ini semata-mata komitmen saya selaku kepala daerah yang jelas harus memiliki kepedulian dan rasa kemanusiaan. Kepedulian itulah yang kami wujudkan dengan mengangkat suaminya sebagai PNS. Pekerjaan akan membuat masa depanya lebih baik
Setelah selesai memberikan keterangan pers semua wartawan diminta untuk menikmati makanan yang tampaknya sudah dipesan semua oleh sang walikota. Katanya sebagai bentuk terimakasih atas kehadiran jurnalis dan hendak menunjukkan kalau tidak akan ada lagi kematian karena rasa lapar. Kelaparan kini menjadi musuh utama sang walikota dan rasa kenyang diputuskan menjadi bagian pokok dari semua programnya. Di kafe itulah dicetuskan program ‘semua kenyang dan kenyang semua’. Program yang melibatkan semua jurnalis untuk makan-makanan semua yang tersaji di meja kafe.
Budiono (ini adalah aktivis kampus yang memegang posisi sebagai ketua BEM. Ditemui di sela-sela pertemuan gerakan muda) saya sangat prihatin dan ini memalukan. Bayangkan kota yang katanya sebagai pintu gerbang perdagangan telah melemparkan penduduknya dalam kelaparan. Menjijikkan! Mustinya wali kota yang perutnya buncit itu mundur saja! Masak pernyataan pers diibacakan di rumah makan. Ini jelas menunjukkan tidak ada wibawa dan memalukan diri sendiri. Apalagi mengatakan bahwa kematian Surtinah karena keterlambatan gizi. Istilah yang menyesatkan dan mengkambing-hitamkan.Dalihnya ini memperlihatkan cara pendekatan yang tanpa empati, tidak ada kepedulian dan masa bodoh. Saya mau bilang sebaiknya kepala daerah mundur saja dan andai tak mau mundur, kempeskan perutnya dulu. Biar otaknya lebih banyak bekerja ketimbang ususnya.
Prof Dr Sugiarto Mpd (Pengamat masalah kemiskinan dan pernah melahirkan puluhan buku yang bicara soal kemiskinan) Saya sudah menduga sejak awal. Kemajuan ekonomi yang tanpa pemerataan dapat melahirkan situasi seperti yang dialami oleh Surtinah. Surtinah adalah warga yang terjepit. Di sekelilingnya ada kebutuhan yang harus dipenuhi secepatnya. Makan! Untuk dua anaknya yang baru tumbuh. Dan pendapatan sehari-harinya tidak bisa memburu kenaikan harga makanan. Jelas keadaan ini tidak menimpa Surtinah saja. Dalam berbagai berita yang dilansir angka gizi buruk terus naik dan merangkak tajam seiring dengan kenaikan harga BBM. Apalagi lingkungan sosial Surtinah juga memiliki nasib yang serupa denganya. Surtinah kehilangan ‘bantal sosial’. Tak ada bantuan, tak ada harapan dan ujung-ujungnya frustasi. Pilihanya bunuh diri menjadi realistis karena tinggal itulah harapan yang tersisa. Harapan tentang apa yang akan diperolehnya jika kematian menjemput. Banyak rohaniawan mengutip kisah betapa banyak orang miskin akan masuk surga karena kesabaranya. Janji surga itu yang membawa Surtinah mengajak anaknya untuk bunuh diri. Ia melakukanya mirip dengan seorang teroris yang termotivasi untuk bertemu bidadari. Lagipula pemerintah memang tak pernah melihat soal Surtinah ini sebagai problem serius. Pernyataan wali kota yang pandir itu mengabsahkan dalil tentang ketidak-tahuan. Tidak tahu yang kemudian menampikan cara penanganan yang birokratis, tidak masuk akal dan tak membereskan soal. Mengapa masih saja berargumentasi tentang KTP segala? Memangnya mereka tidak tahu kalau KTP itu untuk memperolehnya juga harus mengeluarkan uang. Inilah sialnya kepala daerah yang hanya bermodal uang tanpa bekal pengetahuan yang cukup. Bukan komentar yang diberikan melainkan tuduhan. Gaya berkuasa yang diwariskan dari dulu. Kekuasaan yang mempertahankan pola fikir yang kalau ada masalah bukan dicari penyebabnya melainkan siapa yang patut dipersalahkan.
Kemiskinan memang tak hanya bisa diatasi dengan pola konvensional. Belajar dari pengalaman berbagai negara yang terpenting adalah memahami apa penyebab utama kemiskinan. Dua jawaban umum diberikan oleh banyak ahli. Kemiskinan karena ketiadaan akses dan asset. Akses akan menjawab pemenuhan kebutuhan dan asset akan menjawab kepemilikan. Pemerintah dapat mengambil kebijakan yang berdampak pada keduanya. Sayangnya selama ini pemerintah beranggapan orang miskin tak memiliki keduanya. Sehingga pendekatan mengatasi kemiskinan berangkat dari paham ketiadaan itu. Fikirnya orang miskin tak memiliki apapun. Keputusanya kemudian mereka diberi apa saja. Yang terjadi adalah ketergantungan dan membuat akses mapun asset dimusnahkan oleh kebijakan itu.
Ustadz Yufuf ‘tidak’ masyhur (rohaniawan yang selalu berdalil siapa memberi akan mendapatkan imbalan berlipat dari Tuhan. Ditemui di sela-sela acara pengajian yang dipadati oleh ribuan jamaah): Masya Allah (ucapanya ini dikatakan sambil mengelus-elus jenggot yang mulai tumbuh) saya tidak menyangka seorang bisa putus asa seperti itu.Dulu saya pernah mengalami keadaan seperti ibu Surtinah. Tak punya apa-apa. Beruntung masih ada iman dalam hati saya. Iman yang meneguhkan dan membuat saya tidak jatuh dalam keputus-asaan. Ketidak-putus asaan itu yang membuat saya kemudian melatih untuk bersabar bahkan jika memiliki rezeki yang sedikit saya memutuskan untuk membagi. Dengan membagi tiba-tiba masalah bisa diatasi. Jadi kuncinya adalah sabar. Ini berat tapi harus dikerjakan jika kita mengaku sebagai orang beriman. Rasa lapar, miskin, tak punya apa-apa itu adalah bagian dari ujian. Ibu Surtinah kita doakan semoga diampuni oleh Allah karena keputus-asaan itu adalah dosa. Saya merasa itu adalah bagian dari ujian dan tak setiap orang ternyata berhasil melintasinya. (saya hentikan wawancara ini karena ada banyak kutipan panjang ayat suci yang menunjukkan bagaimana sang ustadz dulu lolos dari kubangan kemiskinan)
Jadi kesimpulanya kemudian kemiskinan memang hanya patut untuk dikomentari. Berbagai kalangan tadi hanya menandaskan soal kemiskinan akan selalu menimbulkan beragam tanggapan, puluhan pengamatan dan ribuan analisis. Tapi sekali lagi nyawa Surtinah bersama kedua anaknya tetap melayang. Kita bisa memastikan akan ada banyak Surtinah yang akan menyusul dan para pejabat, aktivis hingga pengamat akan terus berkomentar. Surtinah meninggal untuk memberi kesempatan semua kalangan agar bisa saling membela diri, menuduh dan memastikan dimana kedudukan mereka. Selamat jalan Surtinah semoga kamu menemukan apa yang dijanjikan dulu ketika masih hidup: kerajaan surga bagi orang miskin.
20.00 malam
Ini adalah pentas drama yang disadur dari karya bebas George Orwell yang berjudul: Melarat. Kisah seorang yang terus didera rasa lapar tapi tetap bertahan dengan martabatnya. Ini adalah catatan yang dibuat dengan cara yang hanya berlandaskan pada ingatan selintas. Ingatan sederhana tentang pentas yang diperankan oleh sebuah kelompok teater pemula. Penontonya ada puluhan. Pentas itu sendiri diselenggarakan di pinggir sebuah jembatan. Kelokan sungai yang memanjang jadi bagian dari panggung. Salon bertebaran di sekitar panggung. Suara indah sungai mengalun mirip dengan irama sound track yang mengawal di belakang adegan.
Berdiri seorang di atas panggung. Sendirian dengan kaos parpol terbesar yang warnanya amat mencolok. Panggung hanya ada kursi dan meja. Pria itu duduk di kursi dan dengan agak enggan mulai membuka suara:
‘kau tahu kemiskinan itu betul-betul menyakitkan. Aku kini harus menelan kehidupan dengan uang di kantong yang jumlahnya hanya Rp 5 ribu. Hanya itu dan cuman itu di kantong sekarang ini. Memang aku bisa hidup hari ini dengan uang segitu. Tapi ini sungguh perkara yang rumit. Setelah menjadi pengangguran inilah pengalamanku pertama tak memiliki pekerjaan. Yang artinya aku tak punya penghasilan. Yang maksudnya aku sekarang jatuh miskin. Kemiskinan adalah satu hal yang kau akan takuti sepanjang hidup. Kalian mungkin bisa berfikir tentang kemiskinan tapi kalian akan mengalami situasi yang benar-benar tak terbayangkan. Aku mengalaminya sekarang ini. Kemiskinan ternyata bukan perkara sederhana. Tapi rumit. Juga jangan kamu berfikir kemiskinan masalah besar, tapi sebenarnya cuman soal yang jorok dan membosankan. Hal pertama yang akan kau jumpai ketika menjadi miskin adalah perasaan hina’
Laki-laki itu mulai berjalan mengitari panggung. Duduk dengan rasa gelisah kemudian berdiri lagi. Memutar badan sambil memegang pergelangan tangan. Ia melangkah dengan perut yang kini mulai dipegangnya erat-erat.
‘aku lapar…merasa lapar dan sudah beberapa hari ini hanya meminum air putih. Kau tahu bagaimana rasanya lapar? Dengan uang segitu aku berjalan-jalan dan melihat etalase toko. Disana terdapat makanan yang melimpah ruah yang makin membuatmu lebih menderita. Makanan itu hanya bisa dinikmati kalau engkau memiliki uang yang cukup. Kadang aku berfikir akan membawa makanan itu dan membawanya lari, lalu menelanya sebelum mereka menangkapku. Dan memang itu tidak aku lakukan. Rasa takut yang membuatku tidak mengerjakanya. Ketakutan adalah bagian dari kemiskinan.
Kamu merasa kebosanan adalah bagian dari kemiskinan. Saat-saat ketika kamu tidak melakukan apa-apa.