Mengapa Kaum Miskin harus bersatu?
(Diskusi bersama Karl Marx, Abu Dzar dan Uskup Romero)
Acara siang itu selesai lebih cepat. Pembahasan tekhnis soal kurikulum ternyata jauh lebih sederhana. Kebetulan kawan-kawan Jakarta membantu proses fasilitasi. Mereka memang jago kalau soal mengawal pelatihan. Mungkin pengalaman atau bisa juga karena pekerjaanya memang itu. Seorang perempuan yang dikenal sebagai aktivis feminis membuat beberapa bagan untuk memudahkan peserta menyusun beberapa materi. Hari itu saya diminta menyusun draft kurikulum soal keamanan dan gender. Aku sendiri hanya membantu proses perumusan referensi dan metode. Dalam soal reformasi keamanan mungkin aku tidak begitu ahli. Tapi pengalaman lapangan yang panjang membuat aku memahami kebutuhan taktis dan tekhnis ketika mau membuat pendidikan khusus mengenai itu.
Acara siang itu diakhiri dengan pembayaran honor dan akomodasi. Beberapa kuitansi harus aku tanda tangani. Sejumlah uang yang bernilai ratusan ribu dimasukkan dalam amplop. Kebiasaan bayar-membayar ini biasanya memang agak rumit. Soal tanda tangan dan bukti perjalanan harus dilampirkan. Pernah selembar karcis dan foto copy STNK diminta untuk bukti perjalanan. Tapi begitulah uang dialirkan melalui jalan pembuktian yang beragam. Kata mereka ini hanya cara untuk mengatasi kebocoran dan disiplin keuangan. Beruntung aku bukan bagian yang mengurus perkara yang rumit ini. Segera setelah kuterima uang aku dianter ke terminal oleh panitia. Dua kawan karib yang baru aku kenal. Anak muda yang memang baru menginjak karir di lembaga Ornop. Tampak lugu, antusias dan senang sekali bekerja disana.
Aku dianter hingga di depan pintu bus. Siang itu angkutan yang tersedia hanya bus. Travel dan kereta semuanya penuh. Musim liburan kata kawan-kawanku. Pesawat jelas tidak ada karena harus menyambung ke Jakarta lebih dulu. Sia-sia dan pastilah lama sekali. Kebiasaan musim liburan adalah angkutan yang padat dan berjejal. Tiap orang tampaknya harus mengagendakan lebih dini jika mau bepergian. Bahkan bus yang aku naiki siang itu sangat padat sekali. Bus yang tempat duduknya berjumlah 34 kurasa. Nama bus itu Jaya. Mungkin lambang keinginan pemiliknya untuk terus bertambah keberuntungan. Aku memilih duduk di samping seorang yang berjenggot panjang. Hanya itu yang tersisa tempat duduknya.
Tak lama kemudian bus melaju meninggalkan terminal. Sebuah tempat yang padat dan hiruk pikuk. Orang melakukan apa saja di dalamnya. Ada yang memarkir, mengemis, mengamen dan sebagian yang lain sibuk merayu penumpang. Aku berjalan menyusuri dan mencari bangku yang kosong. Kondektur memintaku untuk berjalan ke hadapanya. Ia menunjuk sebuah bangku yang hanya diisi oleh seseorang.
‘apa disini kosong pak? Tanyaku sopan
‘ya silahkan, ndak ada yang nempati kok’ katanya ramah dan hangat
Segera aku duduk di sampingnya. Kami bersentuhan pundak dan aku baru sadar kalau ia memakai jas agak tebal. Warnanya hitam pekat. Menggelikan dan aneh pada udara siang yang panas itu. Walau bus ini memakai AC tapi tak bisa mengalahkan cuaca siang yang menyengat. Atau mungkin sudah lama AC nya rusak. Apalagi beberapa penjual makanan naik turun ke dalam bus. Selain panas juga tampak sesak. Mereka menjajakan apa saja: jeruk, tahu, roti hingga majalah hiburan.
Tak lama kemudian bus itu melaju pelan. Meninggalkan asap dan terminal yang begitu padat dan sesak. Kulihat ada banyak penumpang yang menunggu dan mengelilingi sebuah bus. Jurusan Jakarta memang selalu padat penumpangnya. Apalagi kalau itu bus ekonomi. Identitas yang mengatakan bahwa tarifnya murah dan terjangkau.
‘mau kemana mereka ya kok ramai sekali? Tanya orang berjenggot di sebelahku. Agak terkejut dan bingung aku menjawabnya. Darimanakah orang ini? Tanyaku dalam hati. Semua orang pasti tahu kalau mereka pekerja lepas yang mau cari pekerjaan. Jakarta mirip seperti madu meleleh yang mengundang banyak lebah untuk mengelilinginya. Mau pagi, siang atau malam kota itu selalu padat penduduk. Kemacetan petanda bagaimana jalanan tak lagi mampu memuat penduduk yang ada disana.
‘mereka mau ke Jakarta, cari pekerjaan sepertinya’ jawabku dengan ringan. Aku memang merasa tak ada persoalan dengan orang yang mencari pekerjaan. Tapi teman sebelahku tampaknya punya kegelisahan yang berbeda
‘apa memang tak ada lapangan pekerjaan disini? Tanyanya dengan sedikit keheranan. Kutengok mukanya yang tampak tak pernah istirahat. Ia seperti seorang yang memang baru mengenal negeri ini. Sebuah negeri yang disebut oleh biduan sebagai sekeping surga. Semua kekayaan alam tersimpan dalam tempurung bumi. Emas, minyak, batu bara seharusnya menjadi dasar kekayaan negeri ini. Tapi itulah kutukan sumber daya dalam. Kekayaan yang kemudian dirampas oleh para imperialis yang berkedok perusahaan.